Literasi Digital I: Kesenjangan Digital

Oleh: Zaenudin Amrulloh, M.A

Pengertian digital saat ini tidak semata tentang deret angka dan deret hitung yang sesuai dengan sumber katanya “digit”, namun digital saat ini dipahami sebagai metode baru dalam melihat urusan manusia yang tersambung dengan kabel-kabel optik (dunia online), dengan robot, atau tepatnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Sehingga saya lebih suka mengartikan literasi digital sebagai kemampuan membentuk kesadaran untuk menimbang hal-hal yang perlu dan tidak perlu untuk dilakukan dalam ruang lingkup kecerdasan buatan. Siapa yang mampu menyisihkan hal-hal yang tidak perlu dilakukan dalam dunia serba online ini maka dia akan bertahan. Tidak jauh berbeda dengan hukum rimba.

Silakan dipikirkan lebih dalam lagi akan hal tersebut...

Substansi yang perlu saya sampaikan dalam artikel ini adalah fenomena kesenjangan digital. Terlebih kita yang hidup di negara yang selalu mendapat giliran terakhir dalam akses teknologi informasi. Di negara maju sudah mulai menerapkan Jaringan 5G (fitfth generation) sebagai standar telekomunikasi. Di Indonesia justru masih banyak wilayah yang belum mampu mengakses tidak hanya 4G bahkan 3G. Bayangkan... betapa tidak adilnya hidup ini... Dia pergi begitu saja, melupakan semuanya, kasih.

Dalam kesenjangan digital ini saya akan membaginya menjadi tiga level. Level pertama bukan infrastruktur, loh. Bukan! Permasalahannya bukan pada infrastruktur. Kesenjangan tersebut adalah kesenjangan akses, kesenjangan keterampilan, dan kesenjangan hasil.

“Loh pak, bukannya tanpa infrastruktur kesenjangan itu akan menjadi hilang seperti mantan saya?”

Indonesia itu selain negara yang bergantung pada negara maju (maunya berpikir dan selalu memuji infrastruktur Barat) ia juga negara yang sebenarnya mampu menciptakan infrastruktur yang memadai dan adil bagi semua daerah. Koruptor saja bisa mencuri uang rakyat sampai triliun rupiah, masak hanya sekedar membangun pemancar dan kabel optik yang harganya kisaran juta tidak mampu. Kan... kan...

Makanya, permasalahan kita bukan pada infrastruktur, namun mental yang lupa direvolusi, padahal pemerintahan sekarang memiliki tagline revolusi mental. Malah yang berevolusi budaya menindas dan korupsinya, ehhh~~~

Namun tentu kita harus tetap bangga menjadi warga Indonesia yang terkenal ramah lemah. Karena hanya itu yang bisa membuat kita bertahan! Hidup Indonesia! Hidup mahasiswa! Tolak OMNIBUSLAW! (Loh! Jadi kelewatan).

Nah, jika teman-teman mahasiswa milenial yang ~UUWUU~ melihat kemesraan orang lain ini ingin mengetahui penjabaran lebih jelas mengenai Literasi Digital I: Kesenjangan Digital, silakan hadiri perkuliahan daring kita di hari berikutnya.

Sampai jumpa!


Salam,

Pak Am.

Mataram, 19 Oktober 2020

_______________________________

Artikel ini sebagai pendahulu materi perkuliahan daring kelas Teori dan Aplikasi ICT.