Islam Arab atau Islam Lokal
Oleh: Zaenudin Amrulloh, M.A
Salah satu kutipan ayat Alquran dari Surat Ibrahim (24-26), yang terjemahannya “Tidakkah engkau lihat bagaimana Allah menciptaka metofora tentang “kalimat yang baik”, akarnya kuat (terhujam) dan cabangnya ke langit (menjulang). Pohon itu menghasilkan buahnya setiap saat, atas izin Tuhannya. Dan Allah menciptakan metafor bagi manusia, supaya mereka ingat selalu. Juga tentang metafora “kalimat yang buruk” seperti “pohon yang buruk”, yang tercabut dari akar bumi, jadilah ia tanpa kekuatan”
Terjemahan ayat di atas, bagi saya, ketika mengartikannya dan mengaitkannya dengan Islam lokalitas kita bahwa nilai lokalitas yang dimiliki oleh umat muslim di Indonesia dengan sosio-kulturalnya harus tetap terhujam di tanah (Indonesia) jika mau menghasilkan “pohon yang baik” dengan buahnya yang produktif secara terus menerus. Jika pohon tersebut tak terhujam lagi, maka buah yang dihasilkan adalah dari pohon yang buruk.
Islam yang muncul dan mulai berkembang pada awalnya tidak berarti bahwa Islam adalah agama lokalitas—Islam Arab. Tidak ada istilah lokalitas bagi Islam, yang ada ialah norma-norma Islam yang turut berkembang di tengah masyarakat dengan segala lokalitasnya.
Umar bin Khatab RA, amirul mukminin dikenal sebagai perintis “rasionalisme” yang membawa istilah Al-arab maaddat al-Islam (Arab sebagai sumber kekuatan militer Islam)
Lalu, apakah dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab atau agama lokal? Pertanyaan seperti ini dapat menjebak bagi cara berpikir yang sempit, yang hanya melihat sisi sejarah yang terpotong dan tidak utuh. Tidak utuh, sebab sejarah yang dilihat hanya pada bagian yang terlihat, bukan aspek lain seperti latar belakang sejarah. Dikotomi-antogonistik inilah yang menjadi penyebab pada akhir dasawarsa 60-an pemaknaan Islam menjadi tidak produktif.